SAAT MENAPAKI JALAN JUANG

Oleh: KH. Sugianto SIP.,SAN. ;

Allah SWT berfirman : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi berperang di jalan Allah, maka telitilah (cari keterangan), dan jangan kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan “salam” kepadamu, “kamu bukan seorang yang beriman”,  (lalu kamu membunuhnya), dengan maksud mencari harta benda kehidupan dunia …” (An-Nisa: 94).

Taujihat Ilahiyah di atas menjelaskan dua arahan Allah SWT bagi siapapun yg menapaki jalan perjuangan:

TABAYYUN SEBAGAI ELEMEN VITAL

Allah SWT memerintahkan kepada kita, saat menapaki jalan juang harus mengedepankan tabayyun (check and re-check, konfirmasi dan teliti). Kenapa demikian? Karena saat menapaki medan jalan juang ini, kita akan selalu dihadapkan dengan dinamika yang beragam, baik dinamika interpersonal maupun dinamika intrapersonal. Selalu akan ada gesekan kepentingan antar satu dan yang lainnya, gesekan antar pribadi, maupun gesekan antar kelompok, dan dinamika itu menjadi sesuatu yang wajar terjadi dalam perjalanan berjamaah.

Oleh karena hal tersebut, maka sarana tabayyun menjadi sebuah keniscayaan dalam beramal jama’i. Dengan tabayyun maka dinamika gesekan tersebut akan menjadi elemen vital dalam memanaskan suhu perjuangan sehingga gesekan bisa terkelola dengan baik agar mengarah kepada pergerakan yang positif.

Tabayyun dalam pengertian “teliti” juga menjadi sebuah keniscayaan dalam perjuangan, karena ketelitian kita dalam menerima informasi menjadi sangat penting dalam mengambil sebuah kebijakan, teliti dalam menganalisis informasi dan teliti juga dalam mengelola pergerakan sebuah organisasi. Betapa banyak lembaga-lembaga yang hancur porak-poranda hanya karena ketidak telitian seorang pemimpin atau seorang prajurit dalam menganalisa dinamika yang ada.

Surat An-Nisa di atas, Allah SWT berbicara dalam konteks “berperang”, dalam konteks berperang saja, saat situasi mencekam dan beratnya tarikan-tarikan psikologis, Allah SWT tetap memerintahkan agar orang yang beriman mengendepankan prinsip tabayyun, apalagi jika dalam konteks “fi sabilillah” bukan dalam “alqital” (berperang). sudah barang tentu tabayyun menjadi lebih dari sebuah keharusan.

HINDARI PRASANGKA-PRASANGKA

Di saat terjadinya dinamika gesekan dalam jalan juang yang sedang ditapaki, hindari munculnya prasangka-prasangka dalam pikiran kita, karena prasangka-prasangka itu adalah alat jerat syaitan untuk menghacurkan barisan kaum muslimin. “Inna ba’dho dzonni itsmu” (sesungguhnya sebagian besar prasangka itu dosa).

Seorang manusia tidak memiliki kapasitas untuk tahu tentang motivasi orang lain dalam melakukan sesuatu, hanya dirinya dan Allah saja yang tahu persis maksud dan tujuannya. Menghindarkan diri dari prasangka atas apa niat orang lain, akan lebih baik dibandingkan dengan memunculkan pemikiran-pemikiran yang kontradiktif terhadap saudara kita yang sedang berjuang di jalan yang sama.

Surat An-Nisa di atas, menggambarkan juga bagaimana saat seorang mukmin berperang di jalan Allah menghadapi kaum musyrikin, ketika seorang musyrikin tersudutkan di medan perang dan kemudian dia mengucapkan dua kalimat syahadat, maka tidak boleh orang mukmin membunuhnya, karena prasangka bahwa orang musyrik itu mengucapkan syahadat karena sedang terdesak.

Kejadian ini pun pernah terjadi di zaman Rasulullah SAW, yang kemudian sahabat yang tetap membunuh musyrikin dalam kondisi terdesak itu, oleh Rasulullah SAW dimurkainya. Wallohu ‘alam bishowab.